Tags

, , , , , , , , , , ,


OLYMPUS DIGITAL CAMERAJadi tertawa sendiri saat mengingat seruan Pak Wagub, sekarang Gubernur DKI Jakarta, soal Kalijodo yang mau ditertibkan, ditutup karena dianggap menjadi sumber keresahan dan penyakit sosial. Pun lalu jadi teringat kompleks Kramat Tunggak bermodal motto “mengubah tanah merah menjadi tanah putih”, akhirnya kompleks esek-esek itu disulap wadagnya menjadi bangunan megah: Jakarta Islamic Center. Sama juga nasibnya seperti kompleks Dolly yang situsnya kini sudah “diberadabkan” oleh pengurus publik Surabaya.

Sulap menyulap lahan memang menjadi keahlian yang terhormat para pengurus publik dan pengambil kebijakan negeri ini. Entah menyulapnya menjadi lebih produktif atau ndak, yang penting ada kebijakan baru yang lebih keren, lebih bermoral, lebih ini, lebih itu. Preet.

Lokalisasi selalu diidentikkan dengan kejahatan. Sarang narkoba, tempat meleburnya kejahatan dan dosa. Tempat haram, maksiat, singkatnya lokalisasi adalah neraka itu sendiri. Tapi tak ingatkan kita tentang cerita klasik tentang makam seorang pelacur yang menebarkan wangi kesturi layaknya ahli surga? Wajar jika lupa, karena pelacur selalu menjadi sisi gelap sejarah masyarakat. Kontribusi sektoral mereka tak pernah diakomodir, dikodifikasikan sebagai frasa dan terma ensiklopedi situasi zaman.

Lokalisasi selalu dinilai sebagai representasi, kumpulan, atau himpunan “mereka” yang menjalankan bisnis, aktivitas ilegal, melawan hukum, namun secara bersamaan keberadaannya juga dirindukan. Bagaimana tidak, prostitusi itu adalah aktivitas, atau katakanlah fenomena yang umurnya setua peradaban manusia.

Bahkan dalam optik positivisme hukum tindakan seorang pelacur yang menjajakan dirinya tak pernah dianggap benar-benar melawan hukum. Dalam kitab undang-undang hukum pidana, KUHP, nyatanya tak ditemukan perintah yang benar-benar bisa digunakan untuk menjerat pekerja seks komersial maupun pengguna jasanya.

Nah ini kan menyiratkan bahwa tindakan melacur ndak benar-benar salah, tapi juga ndak bener kalau dilakukan. Ora pantes.Tapi yang mesti ditindak secara tegas itu adalah praktek perdagangan manusia. Di era otonomi daerah terbit beberapa peraturan daerah yang mencoba mengkualifikasi tindakan melacur sebagai sebuah kejahatan. Wuih.

Bagaimana mau menindak tegas para penjaja diri non makelar, wong pejabat juga doyan. Bahkan menjadi elemen penting pelancar transaksi bisnis, deal-dealan. Kalau pejabat mungkin kelasnya ya ndak di Kalijodo, mungkin yang lebih high class lah. Terakhir menurut pantauan lembaga-lembaga anti korupsi, para pekerja seks ini menjadi modus gratifikasi selain uang dan benda-benda berharga lain.

Nah, sekarang sampeyan coba renungkan bagaimana sebenarnya nalar publik soal ketertiban dan keteraturan yang dibayangkan bakal tercipta jika tempat-tempat seperti Kalijodo, Kramat Tunggak, atau Gang Dolly sirna.

Moral toh yang terlintas? Memang. Satu-satunya alasan untuk menindak tegas “mereka” hanya alasan moral semata.

Ya, tentu anasir moral itu dipakai oleh kepentingan ekonomi yang nyodok aras politik publik yang menginginkan pergantian wajah, atau barang dagangan untuk dijajakan. Kan, politik itu isinya hasrat untuk berkuasa plus ekonomi ditambah bumbu cita-cita keadilan sosial. Sehingga produk politik berupa kebijakan selalu memimpikan paras rupawan sebuah aturan, seksi, populis, memberdayakan wong cilik dan menjadi jaminan menarik investor asing.

Dolly ditutup pemerintah setempat menjanjikan sentra ekonomi kreatif di atas lapak bekas wisma esek-esek. Nah, giliran Kalijodo yang mau ditutup. Santer rasan-rasan tukang ojeg, penjaja minuman dan rokok, tukang pijat dan penjaga tempat karaoke soal bekingan yang kalah kuat.

“Mereka” sebenarnya tak pernah kuatir tempat itu mau ditutup atau tidak, karena memang hanya soal pergantian penguasa saja. Yang perlu kuatir itu ya pihak-pihak yang pernah dan masih menjanjikan, memberi harapan palsu bagi para penghuni kompleks. Bisa jadi pada pemerintahan lama para beking itu tenang-tenang saja karena masih ngefren dengan bos besar. Namun pada pergantian pemerintah baru, para beking setidaknya mesti lincah mencari koneksi yang lebih kuat untuk tetap eksis mengangkangi Kalijodo. Kalau tidak, kreatifitas para beking dipastikan berakhir saat ini juga.

Lah lantas bagaimana Nietzsche bisa nyasar ke Kalijodo? Filsuf Jerman yang cintanya bertepuk sebelah tangan kepada si cantik Lou Salome mesti terkekeh-kekeh jika tahu kalau Kalijodo mau ditutup, diganti pasar kreatif. Apalagi hanya soal alasan moral. Wah, bisa-bisa kumis Sang Filsuf bisa dicukur habis lantaran “On the Genealogy of Morality” atau “Beyond Good and Evil”nya dicampakkan di pinggir Kalijodo.

Kerja keras Nietzsche melacak asal-usul moral jelas sia-sia jika situs-situs Dionysiannya diluluhlantakkan oleh Pol PP atau anak buahnya Herkules. Sebenarnya lokalisasi ndak mirip-mirip banget dengan semangat Dionysian, karena teks lokalisasi bisa jadi merupakan turunan dari rejim moral, bukan murni ekspresi rakyat yang tertindas.

Namanya saja lokalisasi, kanalisasi dari norma-norma, gugus nilai baik buruk rejim moral. Karenanya lokalisasi menjadi produk normalitas. Pun bersifat sementara, lokalisasi hadir sebagai jeda rutinitas kerja. Meski hanya sekelebat jeda lokalisasi masih mampu memabukkan, menginisiasi ekstase, memalingkan orang dari kejumudan hidup. Bahkan mungkin ada yang sampai mendapat pencerahan, trus ikut buka lapak di sana.

Tapi boleh dong berandai-andai di pinggir Kalijodo Nietzsche duduk bersama tukang ojeg, sopir bajaj, bakul sayur, tukang sapu, preman pasar, dan penjaga klub malam berbagi cerita tentang “The Birth of Tragedy”. Seluruh penghuni Kalijodo menyimak takzim Sang Filsuf palu godam mendaulat masyarakat pinggir peradaban tentang mentalitas Tuan dan Budak. Cerita tentang karakter Dionysian yang mampu menuntun manusia menjadi adi manusia, Ubermensch, terbebas tipu daya kerangka moral rejim demi mengelola suatu tatanan, orde.

Nyatanya lokalisasi merupakan institusi hasrat yang mengambil jarak dari rutinitas kerja dan produksi. Kerja dalam terma Marxis adalah bentuk alienasi, keterpisahan, pengasingan manusia dengan dirinya melalui produk yang dihasilkan. Karena rejim kapital tahu kecenderungan eksploitatif dalam sistem kerja, pasar, maka perlu objek-objek hasrat macam Kalijodo sebagai katarsis. Akhirnya kehadiran lokalisasi sebagai lokus hiburan tak terbantahkan. Meski dikutuk ribuan kali, ia masih eksis, bahkan menggurita.

Meski bukan Filsuf mainstream, dan lebih cederung anti filsafat, Nietzsche menjadi inspirasi bagi banyak orang. Bahkan Filsuf Prancis kontemporer seperti Michel Foucault menganggapnya sebagai guru. Di akhir aforismenya, Nietzsche seperti mendapatkan wangsit, wisik, untuk kembali ke asal usul. Dalam khasanah pemikiran Jawa nubuat Nietzche itu identik dengan konsep sangkan paraning dhumadi. Bingung ya, Nietzsche ini orang Jerman atau Jawa sih?

Kembali ke asal usul merupakan postulat imperatif pada gagasan mikrokosmos. Manusia sebagai subjek “Ada”sekaligus semesta, curiga manjing warangka. Wah, sepertinya Nietzsche sudah ketularan otak atik gathuk orang Jawa.

Nilai dan moralitas manusialah yang menciptakan, tak lagi mengikuti moralitas yang sudah baku dan menjadi tren: moralitas rejim. Sejatinya manusia bagian dari alam, dan alam itu sifatnya memberi dan menerima, maka semua tergantung kreasi manusia. Ibarat pakaian, kadang-kadang fashion terlalu yang terlalu seragam, akan membosankan dan jumud. Saat itu tukang jahit pakaian di Kalijodo bisa menjadi konsultan fashion alternatif. Sampeyan bisa bebas menentukan model, jenis kain, warna, aksen, dst.

Manusia akan selalu menjadi sekumpulan domba-domba yang tersesat karena nilai-nilai yang diinternalisasi sebagai kesadaran, alih-alih kebijaksanaan, bukanlah ekspresi hasratnya sendiri. Moral selalu menjadi masalah di setiap zaman, karena moral sengaja diciptakan untuk membelenggu dan mengatur kelas yang ditakhlukkan, kelas yang diperbudak, kelas yang diperintah.

Ya, memang semua ini bukan barang baru. Sekadar mengingatkan saja kalau pengalihfungsian lokalisasi atau tempat hiburan, sejatinya hanya memidahkan obyek hasrat saja. Mustahil membungkam kerinduan masyarakat akan hiburan dan pesta. Karena bekerja dalam sistem kapitalistik itu benar-benar melelahkan. “Soro, capek Mas.” Ibarat mesin motor perlu ganti oli tiap bulan.

Jika hasrat dibiarkan lepas tanpa representasi dan merana tanpa obyek hasrat, bukan sekadar mediasi hasrat, maka chaos akan hadir dan situs-situs Dionysian pun berjaya. []