Tags

, , , , , , , , , , , ,


Para Pembicara di D'Resto Kafe Pasfes, Kuningan, Jakarta

Para Pembicara di D’Resto Kafe Pasfes, Kuningan, Jakarta

Bertepatan dengan peringatan kemerdekaan Indonesia ke-70, Forum Alumni Aktivis Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (FAA PPMI) bekerjasama dengan Koalisi Perempuan Indonesia menggelar Diskusi Publik berjudul “Menanti Undang-Undang Yang Menjamin Dan Melindungi Penyandang Disabilitas”, Senin (17/8/2015) di D’Resto Kafe, Pasar Festival, Jakarta.

Diskusi bulanan tersebut dihadiri oleh aktivis dan pemerhati isu disabilitas, akademisi, anggota DPR RI serta awak media massa. Semua elemen masyarakat dalam diskusi mencoba merespon perkembangan persiapan RUU Penyandang Disabilitas ke tahap pembahasan DPR dan Pemerintah. Mereka yang hadir berdiskusi sadar jika isu disabilitas tak dikawal, akan berpotensi tenggelam dan kalah dengan isu lain yang lebih populer semisal Pilkada serentak akhir tahun ini.

Setidaknya lebih dari sepuluh tahun masa pembentukan RUU Penyandang Disabilitas, dan baru sampai di tahap pembahasan DPR dan Pemerintah. Hal ini berarti selama itu pula negara telah abai terhadap hak kelompok disabilitas. Dony Lumingas, Presidium FAA PPMI, lebih jelas menyatakan dalam forum, “Ini soal mindset kita terhadap kelompok disabilitas yang lebih dominan rasa kasihan ketimbang mendorong pembentukan payung hukum, menjamin hak-hak konstitusionalnya.”

Dony juga menggarisbawahi peran media massa mengarusutamakan isu disabilitas supaya tak terjebak pada pemberitaan yang sifatnya kasuistis. Persoalan disabilitas nampaknya nyaris tenggelam, dan sulit diidentifikasi sebagai kebutuhan masyarakat yang bersifat mendesak. Hal ini disebabkan karena keluarga penyandang disabilitas cenderung bersikap menyembunyikan status disabilitas anggota keluarganya.

Tak heran jika selama ini data kuantitatif dan kualitatif penyandang disabilitas sulit didapatkan. Bahkan untuk mendapatkan data jumlah penyandang disabilitas di tingkat kampung sangatlah sulit. Kerangka pendidikan berbasis hak asasi nampaknya menjadi salah satu alternatif mendorong masyarakat untuk bersama-sama menyadari keberadaan kelompok disabilitas yang tanpa sadar kerap mengalami diskriminasi.

“Sudah menjadi tanggungjawab negara untuk melindungi dan memenuhi hak warga negara. Jika negara tak mengambil tanggungjawab pada warga maka beban berlipat akan bertumpu pada pundak perempuan,” tutur Dian Kartikasari, Sekretaris Jenderal KPI.

Pada kesempatan yang sama, Prof. Dr. Irwanto Pendiri Lembaga Kajian Penyandang Disabilitas Universitas Indonesia mengatakan politik anggaran 3 persen untuk para penyandang disabilitas merupakan kerangka pikir yang diskriminatif di kalangan pembuat undang-undang. “Melihat statistik, seharusnya negara mampu memberikan sampai 11 persen, tapi kenapa cuma mengatur 3 persen,” ungkapnya.

Selama ini masyarakat dan pengurus publik terjebak dalam kerangka pikir biner yang ujungnya adalah sikap dan tindak diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas. Nyatanya interaksi keseharian masyarakat terdapat pemilahan sosial antara mereka yang bekerja dengan yang tak bekerja. Akhirnya cukup mudah bagi para pembuat aturan mengelompokan penyandang Disabilitas ke dalam golongan tak bekerja, kemudian menafsirkannya sebagai kelompok yang tak produktif, sehingga nampak wajar jika negara tak terlampau besar mensubsidi mereka.

Diskusi publik yang terselenggara atas kerjasama dua lembaga bermaksud menggugah kesadaran masyarakat serta para pengurus publik untuk tak lagi abai terhadap hak asasi kelompok disabilitas. Pembahasan draf RUU Penyandang disabilitas oleh DPR dan Pemerintah menjadi momen yang sesuai dengan semangat perlindungan dan tanggungjawab negara terhadap hak setiap warga. [] dit.